Dilema Jurnal Internasional

Universitas Kelas Dunia / World Class University sepertinya menjadi target setiap Universitas di dunia khususnya di Indonesia. Salah satu indikatornya yaitu kuantitas/jumlah Jurnal Internasionalnya (Khususnya Jurnal Internasional Bereputasi yang terindex di Scopus dan WoS). Inilah knp jurnal internasional menjadi sangat penting. 

Kemudian, Jurnal Internasional semakin penting karena jurnal internasional (bereputasi) menjadi syarat pengajuan jabatan fungsional. Dalam pengajuan jafung mulai Lektor Kepala jurnal internasional bereputasi menjadi syarat khusus yg wajib ada saat pengajuan. 

Kemudian, jd semakin penting lagi, jurnal internasional bereputasi ini menjadi syarat wajib pemenuhan laporan kinerja dosen yang Lektor Kepala. Dalam 3 tahun sekali wajib memiliki jurnal internasional bereputasi jika dana serdos ingin cair. 

Apalagi yang ingin mengajukan jafung atau memenuhi kinerja Guru besar, sudah sangat wajib.

Disamping pentingnya jurnal internasional ini, ada masalah yang dihadapi dosen:
  1. Biaya publikasi jurnal internasional sangat mahal dan tidak wajar, misal Scopus Q3 ada yang $375/Rp 5.625.000  Contoh Jestec. Besar atau kecil 5 jt ?. Sangat besar. Ada lagi Q3  yg $750/-+Rp. 11.250.000 contoh Jeecar. Bahkan ada yg sampai 1500-3000 USD untuk Q yang lainnya seperti cerita salah satu dosen di webnya https://nazroel.id/2019/12/02/biaya-publikasi-artikel-di-jurnal-mdpi-seharga-motor-baru/. Aneh ya,  dosen yang memiliki ide, dosen yang meneliti (habis waktu, tenaga bahkan uang), dosen yang menulis jurnal (habis waktu, tenaga, bahkan harus bayar translater/proofreader), terakhir dosen harus membayar juga untuk publikasi. Harusnya dosen yg mendapat bayaran yg sudah bersusah payah.☺. (Waktu meneliti berbulan-bulan, waktu proses publikasi jurnal berapa bulan bahkan tahun, dan harus bayar juga akhirnya. Tahun 2022 ada kolega publikasi di MDPI biaya yg dikeluarkan -+30-40 juta untuk publikasi dan proofreading. 
  2. Sebenarnya bukan hanya untuk jurnal internasional, jurnal nasional terakreditasi pun sekarang sudah mulai menerapkan biaya yang mulai tinggi. terakhir lihat ada yang sampai 2 jt untuk Sinta 2 seperti jurnal RESTI. 2 jt tentu bukan biaya yang kecil. 
Dapat dibayangkan berapa dana yang keluar dari negara indonesia ke luar negeri hanya untuk publikasi jurnal internasional. Contoh minimal 1000 paper x USD 375 x kurs 15000=-+5,6 M, bgmn jika sampai 10.000 paper/tahun dengan rata² biaya $500 perpublikasi=-+75 M

Sekedar ide, bagaimana jika Indonesia tidak ikut-ikutan pemeringkatan jurnal Internasional karena jika diamati semua ini seperti jebakan 'kapitalisasi' karya ilmiah. Dan jadinya kita ini malah mendukung 'Bisnis' publikasi karya ilmiah.

Penulis ke publisher, bayar. Publisher ke pengindex scopus juga bayar. Tapi akhirnya jurnal di scopus ga jelas, kapan-kapan bisa secara tiba-tiba discontinue, akhirnya dosen dirugikan.

Mungkin jika masih harus ada publikasi jurnal, idealnya negara berdaulat memiliki pengindeks jurnal milik  indonesia sendiri, cukup fokus jurnal jurnal nasional atau internasional dari lembaga atau kampus di Indonesia saja.
negara memberikan insentif para editor, reviewer dan biaya sewa hosting web jurnalnya, dan publikasi dosen digratiskan. Dosen-dosen yang mempublikasi dijurnal diberikan insentif. Universitas-universitas juga yg biasa membiayai untuk publikasi jurnal mengalihkan menjadi dana insentif buat dosen.
Dari pada buat orang luar mendingan buat motivasi dan kesejahteraan dosen kita.☺

Intinya, sebenarnya ga rela mengeluarkan ratusan dolar atau jutaan rupiah hanya untuk publikasi di publisher luar negeri padahal dosen yang susah payah. Meskipun publikasinya dibiayai negara atau dibiayai kampus, tetap rugi negara dan kampus kita✌✌✌

Dilemanya dimana?.
Disatu sisi tidak ingin terjebak dan ikut ikutan 'mengahamburkan uang' jutaan, belasan juta, bahkan puluhan juta hanya untuk jurnal internasional. jika dibandingkan dengan gaji dosen di Indonesia, biaya jurnal tersebut bisa menghabiskan minimal satu kali gaji bahkan berlipat lipat.

Akan tetapi di sisi lain aturan memaksa kita untuk ikut. Untuk naik jafung, untuk syarat khusus kinerja dosen dalam serdos, untuk pemeringkatan universitas, untuk syarat lulus kuliah dan sebagainya.

Berharap suatu saat ada sistem yang lebih baik. Aamiin...















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bismillah 29 Juni 2023

Install Netbeans 15 dan Jdk 17

Perpanjangan Batas Waktu Pengunggahan Laporan Kemajuan dan SPTB Tahun 2022 pada BIMA